Mengenai Saya

Foto saya
slumbung,ngadiluwih,kediri, jawa timur, Indonesia
AKU ANAK SULUNG DARI 5 SAUDARA

AHLAN WA SAHLAN

AHLAN WA SAHLAN
BI KHUDURIKUM....................!!!!!!!!!!
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA,DI BLOG SAYA YANG SEDERHANA INI....
BLOG INI SAYA PERSEMBAHKAN UNTUK KEDUA ORANG TUA SAYA.....
IBU DAN BAPAK SAYA TERCINTA...
MAAFKANLAH ANAKMU YANG SERING NYUSAHIN INI...
SERTA ORANG ORANG TERDEKAT SAYA......
SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT...!!!!!
AMIN.....!!!!


Selasa, 12 Juli 2011

Al-Qur'an


Al-Qur'an (ejaan KBBI: Alquran, dalam bahasa Arab قُرْآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
* 1 Etimologi
* 2 Terminologi
* 3 Nama-nama lain Al-Qur'an
* 4 Struktur dan pembagian Al-Qur'an
o 4.1 Surat, ayat dan ruku'
o 4.2 Makkiyah dan Madaniyah
o 4.3 Juz dan manzil
o 4.4 Menurut ukuran surat
* 5 Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
o 5.1 Penurunan Al-Qur'an
o 5.2 Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
+ 5.2.1 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
+ 5.2.2 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
# 5.2.2.1 Pada masa pemerintahan Abu Bakar
# 5.2.2.2 Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
* 6 Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
o 6.1 Terjemahan
o 6.2 Tafsir
* 7 Adab Terhadap Al-Qur'an
* 8 Hubungan dengan kitab-kitab lain
* 9 Daftar kepustakaan
* 10 Lihat pula
* 11 Referensi
* 12 Pranala luar

Etimologi


Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)

Terminologi



Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an


Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Nama-nama lain Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

* Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
* Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
* Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
* Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
* Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
* Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
* Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
* Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
* At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
* Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
* Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
* Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
* Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
* Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
* An-Nur (cahaya): QS(4:174)
* Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
* Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
* Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

Struktur dan pembagian Al-Qur'an


!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Surat dalam Al-Qur'an, Makkiyah, dan Madaniyah

Surat, ayat dan ruku'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

Juz dan manzil

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

* As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
* Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
* Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
* Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya

Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf



Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12


Penurunan Al-Qur'an


!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa pemerintahan Abu Bakar


Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:

Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).


Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an


Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Terjemahan


Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:

1. Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
2. Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS

Terjemahan dalam bahasa Inggris

1. The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall



Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:

1. Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
2. Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
3. Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
6. Al-Amin (bahasa Sunda)

Tafsir

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tafsir al qur'an

Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.

Adab Terhadap Al-Qur'an


Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.

Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

Hubungan dengan kitab-kitab lain

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hubungan Al-Qur'an dengan kitab lain

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:

* Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
* Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
* Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
* Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.

Daftar kepustakaan

* Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
* Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
* Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
* Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
* Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
* ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
* Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
* al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
* al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
* Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
* al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
* al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
* ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
* ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
* Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
* -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
* Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.

Jumat, 08 Juli 2011

Tan Malaka



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHrae7OWBiSYQrO9XkH70LVSQG7PkKgZAopx4dqVfoCn9DjUsaLyINGCO7uM0No8BhjWzTXd9kgWWCkfcNVZ6LmLuAo4G8-CkauLh-crtWuf3T3vuI2xfdxcfciQNPaU5lnPKMn13JLMXh/s1600-r/TanMalaka_DariPendjara_ed3.jpg
Salah satu sosok pahlawan nasional kita yang terlupakan. Mungkin salah sedikit (atau satu-satunya) sosok pahlawan yang memiliki kisah petualangan dari negara ke negara lain dan menjadi sosok yang dicari oleh Belanda dan banyak negara lain. Selain itu, pada masa revolusi kemerdekaan keberadaannya selalu dicari oleh para pejuang pada saat itu (termasuk oleh Bung Karno) karena hobinya melakukan penyamaran untuk menghindari mata-mata musuh, sehingga sosoknya selalu dan tidak banyak yang mengenal dengan pasti seperti apa sosok yang bernama asli Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu.

sayangnya keberadaan dari tokoh aliran kiri ini hilang secara dalam pergolakan revolusi kemerdekaan itu. Konon kabarnya Tan Malaka dibunuh pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di daerah Kediri, Jawa Timur. Hingga kini makamnya tidak pernah bisa ditemukan.

Gunadarma
Borobudur dan Gunadarma adalah dua nama yang tidak bisa terpisahkan. Dalam sejumlah literatur, Candi Borobudur diarsiteki oleh sekelompok kaum atau sekelompok brahmana yang meletakkan dasar pada sebuah tempat pemujaan nya dan kemudian entah beberapa waktu kemudian (kemungkinan bisa puluhan, ratusan atau malah ribuan) dibuatkan sebuah proyek mega raksasa, pemberian sebuah “kulit” yang katanya dikepalai oleh seorang arsitek bernama Gunadarma.

Sedangkang siapa sebenarnya sekelompok kaum brahmana yang terdahulu tidak diketemukan catatan resmi tentang mereka, kemudian cerita tentang kepala penanggung jawab mega proyek pembuatan “kulit” situs tersebut yaitu Gunadarma juga tidak ada sebuah keterangan resmi mengenainya, bisa jadi kata Gunadarma adalah sebuah kata symbol dan bukan merupakan nama seseorang.

Kalau memang benar Gunadarma yang mengarsiteki pembangunan Candi Borobudur, maka perlu kita acungi jempol (kalo perlu pake empat kaki!) bagaimana Gunadarma melakukan perencanaan yang tepat dengan kondisi teknologi yang pada saat itu belum begitu canggih. sampai saat ini nama Gunadarma dan Borobudur itu sendiri masih menjadi misteri yang belum bisa diungkapkan dengan tuntas.
Suatu ketika majalah Sastra, dengan cetakan tahun VI No. 48, Agustus 1968, memuat sebuah cerpen yang berjudul Langit Makin Mendung yang dikarang oleh (diduga ini nama samaran). Cerpen ini bercerita tentang Nabi Muhammad yang memohon izin kepada Tuhan untuk menjenguk umatnya. Disertai malaikat Jibril, dengan menumpang Bouraq, Nabi mengunjungi Bumi. Bouroq bertabrakan dengan satelit Sputnik sehingga Nabi serta Malaikat Jibril terlempar dan mendarat di atas Jakarta. Di situ Nabi menyaksikan betapa umatnya telah menjadi umat yang bobrok. Cerpen ini adalah sindiran terhadap laku keagamaan masyarakat luas yang ”menyimpang” pada waktu yang belum jauh berselang dari terjadinya Tragedi 1965.

akibat penerbitan Cerpen yang bikin heboh umat ini, dituduh telah melakukan penodaan terhadap agama karena mempersonifikasikan Tuhan, Nabi Muhammad, dan Malaikat Jibril. Tanpa ampun lagi H.B. Jassin selaku penanggung jawab majalah itu dibawa ke pengadilan dan dipaksa untuk mengungkap siapa sebenarnya . H.B. Jassin menolak untuk mengungkap jati diri . Untuk itu ia dituntut Pengadilan Tinggi Medan dan divonis in absentia berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun.

Dan sampai saat ini pun identitas dari tidak terungkap dan dibawa hingga ke liang lahat oleh H.B. Jassin.

Imam Sayuti alias Tebo
Suatu hari, pada 1970 hiduplah sepasang suami-istri Fai dan Nasikah di lereng Gunung Watungan, Desa Wuluhan, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Fai bekerja sebagai kuli bangunan, istrinya membantu mencari kayu di hutan Ambulu. Masih pengantin baru, konon mereka belum sempat berhubungan suami-istri, Fai pergi ke kota untuk bekerja di proyek. Fai pun pamit untuk jangka waktu lama.

Ternyata, baru tiga hari pamitan, ‘Fai’ pulang lagi menemui Nasikah. (Dipercaya sebagai gendruwo atau makhluk halus. Postur, cara bicara, suara, dan perilakunya persis Fai, sang suami asli). Nah, si gendruwo yang menyamar sebagai Fai ini kemudian menyetubuhi Nasikah.

Nasikah, wanita desa itu, tenang-tenang saja karena menganggap ‘laki-laki’ itu suaminya yang sah. Bulan ketujuh Nasikah hamil, Fai palsu pamit. Datanglah Fai yang asli. Maka gegerlah sudah keluarga baru ini. Untung saja, ulama terkemuka di Ambulu meminta Fai untuk bersabar karena istrinya tidak selingkuh. Ada pesan atau isyarat spiritual yang terjadi dengan istrinya. Lalu, lahirlah bayi penuh rambut di tubuh dengan bintik-bintik merah. tuanya memberi nama Imam Sayuti. Tapi laki-laki kekar ini diberi nama gaib, Tebo, sesuai dengan petunjuk ‘dari langit’. Tebo kemudian diasuh oleh pasangan suami-istri ini layaknya anak mereka sendiri.

Sosok ini cukup menarik perhatian ketika Tebo dititipkan oleh manajer Wahana Misteri (penyelenggara pameran yang berkaitan dengan hal-hal gaib) pada tahun 1990 dan menjadi bintang pameran di sana. Akhirnya kontroversi keberadaan sosok ini merebak.

Tentu suatu hal yang ganjil jika ada makhluk alam lain bisa ’bersetubuh’ dengan manusia dan melahirkan manusia ’gado-gado’. Hingga saat ini belum ada penelitian yang lebih ilmiah untuk membuktikan keberadaan ’makhluk’ ini.
Perobek Bendera Belanda di
Peristiwa 10 November 1945 tentu tidak lepas dari dipicunya oleh salah satu peristiwa yang heroik, yaitu perobekan bendera Belanda di atas . Kisah ini dipicu oleh berita bahwa di di Tunjungan telah dikibarkan bendera Belanda merah-putih-biru oleh Mr Ploegman. Tentu saja hal tersebut tidak diterima oleh para arek-arek Suroboyo yang merasa pengibaran bendera tersebut dianggap sebagai penghinaan sebagai bangsa yang merdeka.
Pada akhirnya Mr. Ploegman dibunuh oleh seorang pemuda mendekati dirinya tanpa ia ketahui dan menusukkan pisaunya bertubi-tubi. Pada saat itu Mr. Ploegman menghadapi ribuan massa di depan hotel yang menuntut penurunan bendera triwarna tersebut. Pada saat itu teriakan untuk menurunkan bendera kian membahana. Sejumlah pemuda telah membawa tangga untuk naik ke atap hotel, terdapat 8 sampai 10 pemuda. Dari atap ada yang naik ke tiang bendera dalam gemuruh teriakan, lalu bagian biru bendera itu pun dirobek, dan jadilah kini Sang Merah Putih yang berkibaran di angkasa.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang menjadi perobek bendera tersebut? Dalam kondisi yang sangat kacau dan penuh massa, tentu tidak mudah bagi para saksi sejarah untuk mengetahui secara pasti siapakah yang melakukannya.
Penulis Buku Darmogandhul
Mungkin di antara karya-karya sastra kuno berbahasa Jawa, kitab Darmogandhul adalah salah satu sastra Jawa yang sangat kontroversial. Selain isinya banyak memutarbalikkan ajaran agama tertentu, juga kitab ini sarat dengan sejumlah keganjilan-keganjilan sejarah sebenarnya. Walaupun menggunakan latar belakang kisah runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak Bintara, kisah Darmogandhul mencuatkan hal-hal yang tidak masuk akal pada zamannya. Hal ini didapati pada untaian kisah berikut:
… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis, …
Maksudnya: pasukanMajapahit menembak dengan senapan, sedangkan pasukan Giri berguguran akibat tidak kuat menerima timah panas. Apakah zaman itu sudah digunakan senjata api dalam berperang? Hal tersebut tidak mungkin sebab senjata api baru dikenal sejak kedatangan bangsa Eropa ke bumi Nusantara. Darmogandhul ditulis setelah kedatangan bangsa Eropa, bukan pada saat peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak Bintara.

Lalu siapakah sebenarnya penulis kitab ini? Sampai saat ini belum ada yang bisa menunjukkan secara pasti siapakah pengarang kitab ’ngawur’ ini. dari sejumlah analisis tulisan dan latar belakang sejarah dalam kitab itu, Darmogandhul ditulis pada masa penjajahan Belanda. Penulis Darmogandul bukan yang tahu persis sebab-sebab keruntuhan Majapahit yakni Perang Paregreg yang menghancurkan sistem politik dan kekuasaan Majapahit, juga hilangnya pengaruh agama Hindu. Kitab Darmogandhul diduga hanya produk rekayasa sastra Jawa yang dipergunakan untuk kepentingan penjajah Belanda.

Supriyadi


http://aldiparis.files.wordpress.com/2008/08/supriyadi_11.jpg
http://djunaedird.files.wordpress.com/2008/08/supriyadi_masih_hidup_surya_online.jpg
GB
Siapa sih yang tidak kenal dengan sosok pahlawan satu ini. Kalo elo-elo gak tau, tandanya pas pelajaran sejarah pada tidur di kelas ya, hehehe…Supriyadi adalah pahlawan nasional , pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air () terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama , tidak pernah muncul untuk menempati jabatan tersebut.
Pada waktu itu, Supriyadi memimpin sebuah pasukan tentara bentukan Jepang yang beranggotakan . Karena kesewenangan dan diskriminasi tentara Jepang terhadap tentara dan rakyat , Supriyadi gundah. Ia lantas memberontak bersama sejumlah rekannya sesama tentara . pemberontakannya tidak sukses. Pasukan pimpinan Supriyadi dikalahkan oleh pasukan bentukan Jepang lainnya, yang disebut Heiho.

Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya. Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Supriyadi hilang.

yang membikin sosok Supriyadi semakin adalah banyaknya kemunculan - yang mengaku sebagai Supriyadi. Salah satu yang cukup kontroversial adalah sebuah acara pembahasan buku ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno’, yang diadakan di Toko Buku Gramedia di Jalan Pandanaran Semarang. Dalam acara itu, seorang pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia sesungguhnya. Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan
kini berusia 88 tahun.

sampai sekarang pengakuan tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya, meski secara perawakan dan sejumlah saksi membenarkan klaim tersebut.

MUHAMMAD THAIYIB PENERUS TRADISI ULAMA BANJAR


 BEBERAPA orang ulama yang berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan, keluarga dekat dengan ulama yang diriwayatkan ini, telah diperkenalkan dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia. Mereka ialah Tuan Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar (16 Ogos 2004), Syeikh Abdur Rahman Shiddiq Al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri (23 Ogos 2004), Mufti Jamaluddin Al-Banjari, Ahli Undang-Undang Kerajaan Banjar, (15 Ogos 2005), Haji Yusuf Saigon Al-Banjari, (22 Ogos 2005) dan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Pengarang Sabil Al-Muhtadin (19 September 2005). Pada judul-judul yang tersebut ulama yang bernama Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari adalah jalur ke atas ulama yang diriwayatkan ini, sedang Tuan Husein Kedah al-Banjari adalah cucu beliau. Nama lengkapnya ialah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud bin Qadhi Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Di antara nama yang digunakan dalam penulisan ialah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Khalidi an-Naqsyabandi. Penambahan perkataan “al-Khalidi an-Naqsyabandi” adalah berdasarkan sebuah karya beliau judul, “Fat-hul Hadi. Dengan digunakannya perkataan yang tersebut berertilah ulama yang berasal dari Banjar yang tinggal di Kedah tersebut adalah seorang sufi, pengamal Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah. Daripada maklumat di atas jelas bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari sama pegangannya dengan Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi (Minangkabau) yang kedua-duanya hidup sezaman yang menyebarkan Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah yang tersebut dalam kerajaan Riau-Lingga dan selanjutnya di Melaka dan Kedah. Sangat kemungkinan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari adalah murid pada Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi yang tersebut, hal ini kerana jika dibandingkan kemunculan ulama Minangkabau tersebut lebih dulu muncul daripada Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari. *Asal usul Ayahnya Syeikh Mas’ud itulah yang dikatakan telah menemui syahidnya di dalam peperangan di antara Patani dan Kedah melawan Siam, iaitu bersama-sama kejadian hilangnya Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Datuknya bernama Qadhi Haji Abu Su’ud diceritakan bahawa beliau pulang dari Makkah untuk meneruskan perjalanannya pulang ke Banjar telah singgah di Kedah. Sultan Kedah telah meminta kepadanya supaya tinggal di Kedah saja untuk menjadi guru baginda dan rakyat Kedah. Peristiwa yang sama berlaku pula kepada saudara kandung Syeikh Qadhi Haji Abu Su’ud yang bernama Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari diminta oleh Sultan Riau-Lingga supaya menjadi Mufti, mengajar istana dan rakyat Riau-Lingga dalam berbagai-bagai ilmu pengetahuan Islam. Pendek kata semua adik beradik dan datuk/nenek kepada Syeikh Muhammad Thaiyib adalah ulama-ulama besar yang terkenal dan tidak asing bagi masyarakat Melayu di seluruh dunia Melayu. Di Kedah Qadhi Haji Abu Su’ud al-Banjari atas kehendak Sultan Kedah telah kahwin dengan perempuan bernama Rajmah. Dari perkahwinan itu memperoleh anak dinamakan Mas’ud, iaitu ayah kepada Syeikh Muhammad Thaiyib yang diriwayatkan dalam artikel ini. Daripada cerita di atas dapat diambil kesimpulan bahawa ulama yang diriwayatkan ini sebelah ayahnya adalah berasal dari Banjar sedang sebelah ibunya berasal dari Kedah. *Pendidikan Syeikh Muhammad Thaiyib Banjar-Kedah dipercayai memperoleh pendidikan asas dari ayah dan datuknya sendiri. Selanjutnya Syeikh Muhammad Thaiyib juga mempunyai konteks kepada kaum keluarganya yang menjadi ulama di negeri Banjar, Jawa, Bangka, Belitung dan Makkah. Banyak kali beliau pulang ke Banjar, atau pergi ke Makkah, atau di tempat-tempat yang diketahuinya ada kaum keluarganya yang menjadi ulama. Pada masa usia mudanya lebih banyak menerima pelajaran daripada memberikan pelajaran. Tetapi manakala beliau telah meningkat tua adalah sebaliknya lebih banyak mengajar daripada menerima. Tidaklah diragukan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib tersebut adalah seorang ulama besar, bahkan anak beliau juga seorang ulama besar yang banyak jasanya dalam pembinaan ulama di Semenanjung Tanah Melayu. Daripada sebuah kitab judul Miftah as-Shibyan fi ‘Aqaidil Iman oleh Syeikh Muhammad Zain Nuruddin dapat diketahui sanad atau hubungan pengajian Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari ialah, “… hamba mengambil ilmu sharaf, dan nahu, dan fiqh, dan ilmu tasawuf, dan ilmu ushuliddin di dalam Negeri Bahara Pesisir Kampung Dahari kepada Syeikhina Walidiyi al-murabbiyi ruhiyi wal jasadiyi al-’Alim asy-Syeikh Abbas, Imam al-Khalidi an-Naqsyabandi, ibnu al-Mukarram al-Haji Muhammad Lashub. Ia mengambil daripada asy-Syeikh Ismail ibnu asy-Syeikh al-Khathib Sikin, dan daripada asy-Syeikh Alim al-Allamah al-Fahamah asy-Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, dan daripada asy-Syeikh al-Allamah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi, dan daripada Syeikh ‘Ali al-Qad-hi.” Daripada petikan ini dapat disimpulkan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi adalah termasuk salah seorang guru bagi Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, iaitulah ulama besar dunia Melayu yang terkenal penyusun kitab ‘Aqidah an-Najin, Kasyf al-Litsam, Kasyf al-Ghummah, dan lain-lain. Melalui sanad ini menurunkan beberapa orang ulama di Sumatera Utara, di antaranya ialah Syeikh Abbas bin Haji Muhammad Lashub Imam al-Khalidi an-Naqsyabandi dan anak beliau Syeikh Muhammad Zain Nuruddin, Negeri Bahara Pesisir Kampung Dahari, Sumatera Utara, penyusun beberapa buah kitab. *Karya Ada tiga risalah karya ulama yang berasal dari Banjar ini yang telah dijumpai, ialah: 1. Miftah al-Jannah fi Bayan al-’Aqidah, 2. Fat-hul Hadi, 3. Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman, 4. Bidayah al-Ghulam fi Bayan Arkan al-Islam. Risalah yang pertama, Miftah al-Jannah, pada satu naskhah catatan diselesaikan penulisan pada 16 Syawal 1247 H/19 Mac 1832 M pada naskhah yang lain pula dinyatakan pada 16 Syawal 1255 H/23 Disember 1839 M. Terdapat pelbagai edisi cetakan, cetakan Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah Mekah, 1321 H dan 1327 H. Dicetak kombinasi dengan risalah-risalah Ushul at-Tahqiq, Mau’izhah li an-Nas, Tajwid al-Quran semuanya tanpa menyebut nama pengarang. Dan di tepinya pula dicetak risalah Asrar ad-Din juga tidak disebut nama pengarang. Risalah yang kedua, Fat-hul Hadi, diselesaikan hari Isnin, 4 Jumadilakhir 1282 H/25 September 1865 M. Kandungan membicarakan ilmu tasawuf tentang haqiqat merupakan terjemahan dan petikan daripada kitab Syarh Tuhfah al-Mursalah Syeikh Muhammad Bin Fadhlullah Al-Burhanfuri yang disyarah oleh Syeikh ‘Abdul Ghani an-Nablusi. Pada bahagian akhir kitab Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari menyatakan, “Bermula yang membangunkan bagi aku pada yang demikian itu, dan jika tiada aku ahli bagi yang demikian itu, isyarat daripada putera Sultan kami dengan lisan halnya dan maqalnya serta elok segala perangainya dan af’alnya. Maka bahawasanya ia datang akan aku dengan kelakuan segala faqir-faqir dan meninggal ia akan segala pakaian bagi segala amir-amir. Serta bahawasanya ia kamil pada kemuliaan, dan kekayaan dan rakha. Bermula namanya itu seperti nama seorang Nabi yang asyiq akan dia oleh Zulaikha …” Risalah yang ketiga (Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman) dijumpai sebuah manuskrip yang diselesaikan pada tahun 1297 H/1879 M. Hanya sebuah itu saja manuskrip judul ini, tidak terdapat salinan lainnya. Dalam sebuah manuskrip terkumpul beberapa buah naskhah, bukan karya Syeikh Muhammad Thaiyib sendiri saja. Pada halaman 3 terdapat tulisan Syeikh Abdul Muthallib bin Tuan Faqih Kelantan di Mekah, tahun 1307 H/1890 M. Kandungannya membicarakan mengganti sembahyang yang tertinggal menurut Mazhab Hanafi yang diamalkan dalam Mazhab Syafie. Halaman 6 sampai halaman 24 berasal dari tulisan Haji Abdur Rahman bin Haji Wan Thalib di dalam negeri Cenak, Kampung Temparak (Patani) tahun 1290 H. Membicarakan fiqh dimulai dengan membicarakan zakat. Halaman 35 sampai 51 iaitulah tulisan/karya Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud dengan judul yang telah disebutkan. Kandungan karya Syeikh Muhammad Thayib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi ini membicarakan ilmu tauhid, membahas Sifat Dua Puluh. Daripada yang dipaparkan di atas, terdapat banyak bukti bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud banyak meninggalkan karya yang lain, di antaranya telah dijumpai sebuah naskhah yang beliau karang dalam bahasa Arab dan di bawahnya diberi makna dengan bahasa Melayu. Di akhir manuskrip tersebut beliau tulis nama orang tuanya dengan “Mas’ud asy-Syahid”. Maksud asy-Syahid di sini ialah mati syahid dalam perang fi sabilillah melawan pencerobohan Siam terhadap Patani dan Kedah. Dengan dijumpai naskhah tersebut dapat memperkuat sekian banyak cerita masyarakat Melayu terutama di Kedah, Patani, Pontianak dan Banjar serta yang bertulis pula diriwayatkan oleh Tuan Guru Mufti Haji Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari yang beliau ceritakan dalam kitab Syajaratul Arsyadiyah. Juga cerita rakyat yang mungkin ada pihak-pihak tertentu memandang cerita tersebut sebagai legenda atau dongeng. *Keturunan Anak-anak Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud di Kedah di antaranya ialah Haji Muhammad Nashir, Haji Salman, Haji Abdullah dan Haji Abdur Rahman. Haji Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari yang tersebut menurunkan seorang anak yang menjadi ulama besar yang sangat terkenal di Malaysia, Patani dan Banjar. Beliau ialah Tuan Guru Tuan Husein Kedah, atau nama lengkapnya Tuan Guru Haji Husein bin Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi. Sebahagian jasa Tuan Husein Kedah yang tidak dapat dilupakan ialah pendidikan pondok yang diasaskannya di Pokok Sena, iaitu termasuk di antara pusat pengajian pondok yang terkenal di Malaysia pada zamannya. Sangat ramai murid beliau yang menjadi ulama dan tokoh yang terkenal baik di Malaysia mahu pun di tempat-tempat lainnya seperti di Indonesia, Patani dan lain-lain. Tuan Husein pula meninggalkan beberapa buah karangan meneruskan tradisi datuk nenek beliau mulai dari Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari lagi. Di antara karangan Tuan Husein Kedah al-Banjari ada yang masih beredar di pasaran kitab sampai sekarang dan ada juga yang tidak beredar lagi. Di antara karangan Tuan Husein Kedah cucu Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari al-Qad-hi ialah: 1. Hidayah ash-Shibyan, diselesaikan tahun 1330 H, 2. Qathr al-Ghaitsiyah, diselesaikan tahun 1348 H, 3. Bidayah ath-Thalibin, 4. Ushul at-Tauhid, 5. Hidayah al- Mutafakkirin dan lain-lain.

MUFTI JAMALUDIN AL-BANJARI

 
Dari kanan: Muhammad Saman (keturunan ulama Banjar), penulis dan Datuk Mohd Ainal Abdul Fatah Sabah (keturunan ulama Banjar).

Ahli Undang-Undang Kerajaan Banjar
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
SYEIKH Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh anak dan keturunan yang sangat ramai menjadi ulama. Dalam artikel ini mengungkapkan anak beliau yang bernama Jamaluddin. Ibu Jamaluddin bernama Go Hwat Nio atau sebutan popular dipanggil Tuan Guat saja. Tuan Guat adalah seorang Cina yang memeluk Islam oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari sendiri. Adik beradik daripada ibu ini ada enam orang, yang menjadi ulama besar dan terkenal di antara mereka ialah: 1. Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Hasanuddin. 2. Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Zainuddin. 3. Al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Jamaluddin. Tiga orang lagi yang perempuan, ialah 4. Aisyah 5. Raihanah 6. Hafsah.
Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (yang pertama), zuriatnya yang menjadi ulama, ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Muhammad Khalid, al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad Qaim. Al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (ketiga), zuriatnya yang menjadi ulama, ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Muhammad Husein, al-`Alim al-Fadhil Qadi Haji Muhammad Amin, al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abdus Shamad dan al-`Alim al-’Allamah Haji Muhammad Thasin. Haji Jamaluddin al-Banjari digelar juga dengan `Surgi Mukti’, lahir sekitar tahun 1780 M. Tahun wafatnya belum diketahui. Makamnya terletak di Sungai Jingah (Ku’bah), Banjar.
Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin yang seayah tetapi berlainan ibu ialah Syarifah, ibunya bernama Tuan Bajut. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abu Su`ud, al-`Alim al-`Allamah Khalifah Haji Abu Na`im, dan al-`Alim al-`Allamah Khalifah Haji Syihabuddin. Ibu mereka bernama Tuan Baiduri. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abu Su`ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, sewaktu kembali daripada menunaikan haji, berkahwin lagi di Kedah dan memperoleh seorang putera, Mas`ud. Zuriatnya Tuan Husein Kedah, ulama yang terkenal di Malaysia. Mengenainya telah diperkenalkan di Ruangan Agama, Utusan Malaysia, dengan judul Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar pada 16 Ogos 2004. Al-`Alim al-`Allamah Haji Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari di Mekah, belajar kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Tahun 1258 H./1842 M. raja-raja Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti meminta kesediaannya menjadi guru di Kerajaan Riau. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Haji Abdullah (wafat di Madinah) dan al-`Alim al-Fadhil Abdur Rahim. Beliau menunaikan haji dengan menaiki kapal layar, kapalnya pecah dan beliau wafat. Ibu kedua-duanya bernama Tuan Lipur. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Ahmad dan yang perempuan bernama Shafiyah. Ibu kedua-duanya bernama Ratu Aminah binti Pangeran Thaha bin Sultan Tahmidullah. Pada tarikh 9 Julai 2005, saya dan ahli PENGKAJI bertemu dengan keturunan Shafiyah, Kiyai Haji Muhammad Saman bin Muhammad Saleh di Hotel Pan Pacific, Kuala Lumpur. Pertemuan yang melibatkan beberapa keturunan tersebut yang berasal dari Sabah dan Banjar adalah atas kehendak dan diatur oleh Datuk Mohd Ainal bin Haji Abdul Fattah dan kawan-kawan. Kiyai Haji Muhammad Saman adalah guru agama dari Pesantren Yayasan Nurul Hikmah dan beliau juga aktif mengajar di Sabah. Kami merumuskan kerjasama penyelidikan dan pengembangan khazanah ulama silam dunia Melayu yang perlu diperkasakan. Disingkatkan riwayatnya bahawa semua adik beradik Mufti Haji Jamaluddin ada 30 orang daripada ibu seramai 11 orang.
Keluarga jadi mufti
Lingkungan keluarga dekat Mufti Haji Jamaluddin yang menjadi mufti disebut oleh Syeikh Abdur Rahman Shiddiq dalam Syajarah al-Arsyadiyah, ada 10 orang; 1. Al-`Alim al-`Allamah Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2. Al-`Alim al-`Allamah Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad As`ad bin Utsman. 4. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As`ad. 5. Al-`Alim al-`Allamah Haji Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 6. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Khalid bin `Allamah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 7. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Nur bin al-’Alim al-’Allamah Qadi Haji Mahmud. 8. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Al-`Alim al-`Allamah Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid. 10. Al-`Alim al-`Allamah Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad `Afif bin `Alimul `Allamah Qadi Abu Na`im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Daripada yang pertama hingga kelima pada zaman pemerintahan Sultan Banjar. Sedangkan keenam hingga 10 pada zaman penjajahan Belanda.
Daripada maklumat yang lain, golongan keluarga ini yang menjadi Mufti, ialah : 1. Haji Muhammad Husein bin Mufti Haji Jamaluddin. 2. Haji Abdul Jalil bin Mufti Haji Syihabuddin. 3. Haji Muhammad Yunan bin Mufti Haji Muhammad Amin. 4. Haji Sa`id bin Haji Abdur Rahman. 5. Haji Mukhtar bin Qadi Haji Hasan. Jadi, bererti 10 orang yang di atas ditambah 5 orang, kesemuanya 15 orang. Kemungkinan masih ramai yang belum diketahui.
Keluarga jadi qadi
Keluarga ini yang menjadi qadi, yang telah diketahui sekurang-kurangnya 25 orang, ialah: 1. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Abu Su`ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Abu Na`im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Al-`Alim al-`Allamah Haji Mahmud bin Haji Muhammad Yasin. 4. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Amin bin Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari. 5. Al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad Ali al-Junaidi bin Qadi Haji Muhammad Amin. 6. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Sa`id al-Jazuli bin Qadi Haji Su`ud. 7. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Amin bin Qadi Haji Mahmud. 8. Al-`Alim al-`Allamah Haji Abdus Shamad bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Jafri bin Qadi Haji Abdus Shamad. 10. Al-`Alim al-Fadhil Qadi Haji Bajuri. 11. Al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad As`ad bin Mufti Haji Muhammad Nur bin Qadi Haji Mahmud. 12. Haji Ibrahim bin Mufti Haji Jamaluddin. 13. Haji Abu Talhah bin Qadi Abdus Shamad. 14. Haji Muhammad Thaiyib bin Haji Muhammad Qasim. 15. Haji Muhammad bin Haji Muhammad Qasim. 16. Haji Zainal bin Lebai Darun. 17. Haji Abdur Rahman bin Qadi Haji Muhammad Sa`id. 18. Haji Qasim bin Mu’min. 19. Haji Muhammad Sa`id bin Mu’min. 20. Haji Muhammad Arsyad bin Qadi Haji Abdur Rahman. 21. Haji Hasan bin Mufti Haji Muhammad Sa`id. 22. Haji Abdur Rauf. 23. Haji Abdul Jalil bin Qadi Haji Muhammad Arsyad. 24. Haji Ahmad bin Abu Naim. 25. Haji Muhammad Arsyad bin Qadi Haji Abdur Rauf.
Aktiviti
Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan Islam secara mendalam daripada ayahnya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Selain sebagai Mufti Martapura, Haji Jamaluddin juga giat mengajar sama ada orang awam atau pun golongan istana kesultanan Banjar. Haji Jamaluddin, Mufti Martapura yang paling besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825 M – 1857 M), beberapa orang peneliti sejarah berpendapat bahawa Undang-Undang Sultan Adam (1251 H / 1835 M) adalah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pandangan Mufti Haji Jamaluddin. Sebagai bukti pada Fasal 31, terdapat nama beliau, tertulis sebagai berikut, “Sekalian kepala-kepala jangan ada yang menyalahi pitua Haji Jamaluddin ini namun orang lain yang menyalahi apabila ikam tiada kawa manangat lekas-lekas bapadah kayah di aku.” Fasal 31 tersebut ditulis dengan sangat panjang. Menurut kertas kerja Abdurrahman S.H. (sekarang Hakim Agung Indonesia) tertulis dalam bahasa Banjar huruf Latin / Rumi ejaan lama, seperti huruf `u’ masih menggunakan `oe’. Abdurrahman S.H. juga mencantumkan dalam kertas kerjanya itu teks dalam bahasa Belanda. Beliau menyimpulkan Fasal 31 tersebut bahawa “tentang tata pemerintahan hanyalah bagian pertama saja sedang bagian akhir adalah mengenai nazar.” Selanjutnya Abdurrahman S.H. memberi komentar, “Tetapi yang penting di sini adalah suatu hal yang luar biasa bagi seorang ulama kalau fatwanya dimasukkan ke dalam salah satu pasal daripada undang-undang kerajaan sehingga mempunyai otoritas tersendiri sebagai hukum negara. Suatu hal yang jarang terjadi di mana-mana.”
Selain hal-hal yang tersebut di atas, Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari adalah seolah-olah sebagai seorang pendamai perselisihan keluarga Diraja Banjar dan pemegang “Surat Wasiat Sultan Adam”. Dalam bulan Disember 1855 Sultan Adam menulis surat wasiat yang kandungannya bertujuan pengganti Sultan Adam sebagai sultan ialah Pangeran Hidayatullah. Kepada puteranya Pangeran Prabu Anom, dan cucunya Pangeran Tamjidillah diancam dengan hukuman mati, jika menghalangi surat wasiat itu. Surat Wasiat Sultan Adam yang tersebut juga dipegang oleh Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari.
Penulisan
Karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari yang paling terkenal di seluruh dunia Melayu ialah `Perukunan Jamaluddin’. Pada semua cetakan `Perukunan Jamaluddin’ dapat dipastikan bahawa kitab yang tersebut memang karya beliau. Namun masih ada pendapat yang mengatakan bahawa kitab tersebut adalah karya saudara perempuannya bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Pendapat yang lain pula ada yang mengatakan adalah karya anak saudaranya yang bernama Fatimah. Pada pandangan saya, sebelum menghuraikan mengenai ini perlulah kita mengenali pelbagai versi kitab yang dinamakan Perukunan. Setelah kita mengenali pelbagai versi, barulah kita dapat menentukan pengarangnya. Ada yang dinamakan `Perukunan’ saja. Ada yang dinamakan Perukunan Jamaluddin. Ada yang dinamakan Perukunan Besar. Ada yang dinamakan Perukunan Melayu. Ada yang dinamakan Perukunan Jawa. Ada yang dinamakan Perukunan Sunda. Dan terakhir sekali ada yang dinamakan Perukunan Bugis. Tiga jenis `Perukunan’ yang terakhir Jawa,Sunda dan Bugis tidak perlu dibicarakan di sini kerana ketiga-tiganya hanyalah merupakan terjemahan saja daripada Perukunan Melayu. Terlebih dulu di bawah ini diambil data beberapa buah cetakan awal `Perukunan’ yang dinisbahkan sebagai karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari, iaitu yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1315 H/1897 M. Pada kulit depan tertulis, “Ini kitab yang bernama Perukunan karangan asy-Syeikh al-`Alim Mufti Haji Jamaluddin ibnu al-Marhum al-`Alim al-Fadhil asy-Syeikh Muhammad Arsyad Mufti Banjari.” Karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari yang lain, yang kurang diketahui umum, Bulugh al-Maram fi Takhalluf al-Muafiq fi al-Qiyam (1247 H/1831 M).

SYAIKH SYIHABUDDIN DIMULIAKAN KERAJAAN RIAU-LINGGA


Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
DALAM beberapa keluaran Bahagian Agama, Utusan Malaysia yang lalu, saya menulis tentang ulama-ulama Banjar yang sangat erat hubungan dengan ulama ini.
Di antaranya ialah artikel bertajuk Muhammad Thaiyib Penerus Tradisi Ulama Banjar (8 Januari 2007).
Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari adalah cucu saudara pada ulama yang sedang dibicarakan ini. Datuk kepada Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari bernama Kadi Abu Su’ud adalah adik beradik dengan Syeikh Syihabuddin. Ayah mereka ialah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan ibu mereka pula ialah Tuan Baiduri (Bidur).
Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mempunyai 30 adik-beradik yang satu ayah saja, kerana Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari berkahwin sebanyak 11 kali.
Di antara adik-beradik Syeikh Syihabuddin al-Banjari, yang satu ayah termasuklah Mufti Jamaluddin al-Banjari.
Pendidikan
Syeikh Syihabuddin mendapat pendidikan dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan melanjutkan pendidikan di Mekah. Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Saiyid Ahmad al-Marzuqi dan lain-lain.
Untuk menghadapi pelbagai cabaran dunia, Syeikh Syihabuddin menerima beberapa amalan dari ayahnya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Saya sendiri ada sanad mengenai yang tersebut yang saya terima di Sapat, Inderagiri pada Isnin, 10 Rabiulakhir 1406 H/22 Disember 1985 dari Tuan Guru Haji Muhammad As’ad.
Beliau menerima dari ayahnya Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq menerima dari ayahnya Syeikh Muhammad Afif al-Banjari. Syeikh Muhammad Afif menerima dari Syeikh Syihabuddin al-Banjari. Syeikh Syihabuddin menerima dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Amalan yang tersebut ada persamaan dengan salah satu amalan yang termaktub dalam naskhah peninggalan pahlawan Mat Kilau. Ada kemungkinan Mat Kilau turut menerimanya dari Syeikh Syihabuddin al-Banjari.
Syeikh Syihabuddin adalah putera Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari isterinya bernama Baiduri (Bidur). Adik beradik satu ayah dan satu ibu (saudara kandung) dengan Syeikh Syihabuddin ada tiga orang dengan urutan:
1. Al-Alim al-Allamah Kadi Haji Abu Su’ud.
2. Al-‘Alim al-Allamah Kadi Haji Abu Na’im.
3. Sa’idah.
4. Al-Alim al-Allamah Khalifah Haji Syihabuddin (yang sedang dibicarakan).
Kadi Haji Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (nombor 1) mewarisi ilmu secara langsung dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, selanjutnya menjadi Kadi yang pertama di Banjar dan beliau juga seorang pahlawan.
Perkahwinan yang pertama dengan Aminah memperoleh anak seorang ulama, Alimul Allamah Haji Muhammad Sa’id Jazuli. Sewaktu kembali menunaikan haji kahwin lagi di Kedah memperoleh seorang putera, bernama Syeikh Muhammad Mas’ud (dapat dirujuk dalam riwayat Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari dan Tuan Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar, 16 Ogos 2004.
Ilmu
Alimul Allamah Kadi Haji Abu Na’im (no. 2), beliau juga memperoleh ilmu langsung dari ayahnya, beliau menjadi Kadi yang kedua di Banjar. Anak Kadi Haji Abu Na’im ialah Haji Muhammad Afif. Anak Haji Muhammad Afif ialah Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri. Beliau inilah ulama yang pertama menyusun sejarah mereka yang diberi judul Syajarah al-Arsyadiyah.
Alimul Allamah Haji Syihabuddin (no. 4) juga mewarisi ilmu dari ayahnya. Syeikh Syihabuddin adalah seorang Khalifah Mufti dan Kadi. Beliau menurunkan beberapa orang ulama di antaranya Alimul Allamah Mufti Haji Abdul Jalil dan Alimul Allamah Haji As’ad Fakhruddin.
Tahun 1258 H/1842, Raja-raja Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti minta kesediaannya menjadi guru di Kerajaan Riau-Lingga. Raja Ali Haji dalam karangannya yang terkenal berjudul Tuhfatun Nafis telah menyebut peranan ulama Banjar di kerajaan Riau. Di antaranya Haji Hamim yang diangkat Engku Haji Abdullah sebagai wakilnya di negeri Lingga.
Raja Ali Haji menulis: “Al-Kisah maka tersebutlah perkataan saudara Yang Di Pertuan Muda Raja Abdur Rahman itu, iaitu Raja Haji Abdullah yang dalam negeri Makkatul Musyarrafah itu. Maka apabila sampai ia setahun di dalam negeri Makkatul Musyarrafah itu, maka ia pun turunlah dari Mekah itu ke Jeddah.
“Dan dari Jeddah selalu balik ke bawah angin serta ada ia membawa satu orang alim namanya Syeikh Ahmad Jabarti dan seorang lagi orang Banjar anak Syeikh Muhammad Arsyad Banjar yang masyhur dengan alim besar di bawah angin yang mengarang beberapa kitab fikah dan lainnya. Maka adalah nama anaknya Tuan Syihabuddin.”
Petikan kalimat yang tersebut sangat banyak yang perlu dibahas, tetapi yang saya bahas sekarang hanyalah satu istilah ‘alim besar’, yang bererti seseorang itu alim mempunyai banyak bidang ilmu.
Karya
Tuhfah an-Nafis karya Raja Ali Haji yang asli dalam bentuk manuskrip dan cetakan adalah tulisan Melayu/Jawi, maka transliterasi saya kepada Rumi ialah ‘alim besar’. Ini adalah bertentangan dengan transliterasi Viginia Matheson Hooker, ditulisnya ‘ilmu besar’ pada tempat ‘alim besar’ (Lihat Tuhfat Al-Nafis, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hlm. 600). Ahmad Basuni menulis dalam bukunya Djiwa Yang Besar, “H. Abul Muhd. Arsyad (bin Abdullah al-Banjari), seorang yang dalam ilmunya pernah menjadi Mufti, terkenal pula sebagai seorang pahlawan yang sukar dicari tandingannya.” (Djiwa Yang Besar, hlm. 59).
Yusuf Khalidi dalam bukunya Ulama Besar Kalimantan, menyebut bahawa Syeikh Syihabuddin diangkat sebagai Khalifah, iaitu menjawat jawatan Mufti dan Kadi. Bahawa beliau memperoleh 11 anak, namun yang dicantumkan Yusuf Khalidi dalam bukunya yang tersebut hanya tiga orang saja iaitu Al-Alim al-Allamah Mufti Abdul Jalil, Al-Alim al-Allamah Haji As’ad Fakhruddin dan Aminah. Anak beliau yang pertama Al-Alim al-Allamah Mufti Abdul Jalil (No. 1) memperoleh anak bernama Zakaria pernah tinggal di Johor kerana menyebarkan agama Islam.
Zakaria bin Mufti Abdul Jalil bin Syeikh Syihabuddin al-Banjari kahwin di Mersing, memperoleh 13 anak. Syeikh Utsman bin Syihabuddin al-Funtiani/al-Banjari yang menulis beberapa kitab mungkin adalah putera Syeikh Syihabuddin yang diriwayatkan ini.
Tiada data jelas mengenai perkara tersebut, tetapi beberapa orang tua-tua di Pontianak, Kalimantan Barat menceritakan bahawa Syeikh Utsman adalah anak Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan isterinya yang berasal dari Karangan, Mempawah Hulu, Kalimantan Barat.
Hanya sebuah karya Syeikh Syihabuddin yang diketahui, itu pun adalah merupakan imlak gurunya bernama Allamah as-Saiyid asy-Syarif Ahmad al-Marzuqi (1205 H/1790 M-1262 H/1845). Mengenai ini dapat diketahui kenyataan dari gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, katanya, “Dan (bahawasa)nya telah selesailah daripada menjamakkan (mengumpulkan) dia dan kitabahnya (menulisnya) dengan imlak muallifnya di Mekah atas tangan yang menyurat imlaknya itu, (iaitu) Syeikh Muhammad Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad pada waktu zuhur, Selasa bulan Zulhijjah, tahun 1158 (hijrah).”
Setelah Syeikh Syihabuddin menulis imlak dari Saiyid Ahmad al-Marzuqi itu, lalu diserahkannya kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani untuk penelitian dan diperbaiki jika terdapat kesilapan. Setelah diperiksa Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani lalu diserahkan kembali kepada Saiyid Ahmad al-Marzuqi.
Saiyid Ahmad al-Marzuqi memerintahkan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, supaya memberi judul kitab itu sekali gus supaya diterjemahkannya ke bahasa Melayu. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani menamakan kitab itu Tahshilu Nailil Maram Syarhu ‘Aqidatil Awam dan judul yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu ialah Bahjatus Saniyah fi ‘Aqaidis Saniyah.
Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani mengakhiri terjemahannya, katanya, “Dan telah selesai fakir mentaswid (menulis) akan manzhum (yang dinazamkan) matannya dan syarahnya dengan bahasa Jawi, (oleh) Daud bin Abdullah Fathani, pada hari …nama hari tidak tertulis dalam semua cetakan), bulan Safar, waktu asar di Mekah al-Mukarramah.”
Syeikh Abdur Rahman Shiddiq menyebut bahawa zuriat Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang berpangkat Mufti ada 10 orang dan yang berpangkat Kadi juga 10 orang. Antara yang menjadi Mufti termasuk Syeikh Syihabuddin al-Banjari.
Senarai lengkap
Senarai lengkap adalah seperti berikut, 1. Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2. Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Haji Muhammad As’ad bin Utsman. Beliau adalah Mufti yang mula-mula di Kerajaan Banjar. 4. Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As’ad. 5. Haji Syihabuddin. 6. Haji Muhammad Khalid bin Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 7. Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud. 8. Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid. 10. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Dari no. 1 sampai no. 5 pada zaman pemerintahan Sultan Banjar. Sedang yang no. 6 sampai no. 10 pada zaman penjajah Belanda. Dari maklumat yang lain ulama-ulama keluarga tersebut yang menjadi Mufti ialah: 1. Haji Muhammad Husein bin Mufti Haji Jamaluddin. 2. Haji Abdul Jalil bin Mufti Haji Syihabuddin. 3. Haji Muhammad Yunan bin Mufti Haji Muhammad Amin. 4. Haji Sa’id bin Haji Abdur Rahman. 5. Haji Mukhtar bin Kadi Haji Hasan.
Keluarga yang tersebut yang pernah menyandang pangkat Kadi pula ialah: 1. Kadi Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari. 2. Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Haji Mahmud bin Haji Muhammad Yasin. 4. Haji Muhammad Amin bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 5. Haji Muhammad Ali al-Junaidi bin Kadi Haji Muhd. Amin. 6. Haji Muhammad Sa’id al-Jazuli bin Kadi Haji Su’ud. 7. Haji Muhammad Amin bin Kadhi Haji Mahmud. 8. Haji Abdus Shamad bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Haji Muhammad Jafri bin Kadi Haji Abdus Shamad. 10. Kadi Haji Bajuri. 11. Haji Muhammad As’ad bin Mufti Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud. 12. Haji Ibrahim bin Mufti Haji Jamaluddin. 13. Haji Abu Talhah bin Kadi Abdus Shamad. 14. Haji Muhammad Thaiyib bin Haji Muhammad Qasim. 15. Haji Muhammad bin Haji Muhammad Qasim. 16. Haji Zainal bin Lebai Darun. 17. Haji Abdur Rahman bin Kadi Haji Muhammad Sa’id. 18. Haji Qasim bin Mu’min. 19. Haji Muhammad Sa’id bin Mu’min. 20. Haji Muhammad Arsyad bin Kadi Haji Abdur Rahman. 21. Haji Hasan bin Mufti Haji Muhammad Sa’id. 22. Haji Abdur Rauf. 23. Haji Abdul Jalil bin Kadi Haji Muhammad Arsyad. 24. Haji Ahmad bin Abu Naim. 25. Haji Muhammad Arsyad bin Kadi Haji Abdur Rauf.

SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

        
image0011.jpg
Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama.   Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai  keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh. 
Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-’Aidrus bin Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-’Aidrus. Silisahnya kemudian sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah keturunan Rasulullah.
Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah Al-’Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu, yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M).
Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India mengembara untuk  menyebarkan Dakwah,Belia seorang ahli seni ukiran kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdo’a agar dapat melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul-Husna,disamping berdo’a kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan al-qur’an kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya yaitu ;  ’Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein.
Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M.
Semasa Kecil
Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau.
Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampung-kampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang soleha bernam Tuan Bajut, Hasil perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinam Syarifah.
Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama 30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh sultan.
Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu di Arab Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok Al-Fathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.
Hampir semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang, Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain bukti berupa karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat Banjar atau dunia Melayu.

Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal), Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang) yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand Selatan), dan banyak lagi.


Penulisan

Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa buah karangan.
Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya.
Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah ini:
  1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
  2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
  3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
  4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781 M.
  5. Kitab Bab an-Nikah.
  6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
  7. Kanzu al-Ma’rifah
  8. Ushul ad-Din
  9. Kitab al-Faraid
  10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
  11. Mushhaf al-Quran al-Karim
  12. Fat-h ar-Rahman
  13. Arkanu Ta’lim as-Shibyan
  14. Bulugh al-Maram
  15. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
  16. Tuhfah al-Ahbab
  17. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa dinyatakan tarikh cetak.
Ada pun karyanya yang pertama, iaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AI-Falimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990). Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut:
  1. Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, “Maka disebut oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Mu’minin bagi `Alim al-Fadhil al-’Allamah Syeikh Muhammad Arsyad.”
  2. Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, “Maka mengarang Maulana (maksudnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen:) itu beberapa kitab dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut, seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain, “Maka Sultan Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen :) al-’Alim al-’Allamah al-’Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari.”
  3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan kedua dinyatakan, “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-’Alim al-’Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.” Di bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di bawahnya lagi tertulis, “Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.
  4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya.
Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan dibicarakan pada kesempatan yang lain.
  Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir, Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.
Keturunan
Zurriyaat (anak dan cucu) beliau banyak sekali yang menjadi ulama besar, pemimpin-pemimpin, yang semuanya teguh menganut Madzhab Syafi’i sebagai yang di wariskan oleh Syeikh Muhammad Arsyad Banjar.
Diantara zurriyat beliau yang kemudian menjadi ulama besar turun temurun adalah :

l . H. Jamaluddin, Mufti, anak kandung, penulis kitab “perukunan Jamaluddin”.
2. H. Yusein, anak kandung, penulis kitab “Hidayatul Mutafakkiriin”.
3. H. Fathimah binti Arsyad, anak kandung, penulis kitab “Perukunan Besar”, tetapi namanya tidak ditulis dalam kitab itu.
4. H. Abu Sa’ud, Qadhi.
5. H. Abu Naim, Qadhi.
6. H. Ahmad, Mufti.
7. H. Syahabuddin, Mufti.
8. H.M. Thaib, Qadhi.
9. H. As’ad, Mufti.
10. H. Jamaluddin II., Mufti.
11. H. Abdurrahman Sidiq, Mufti Kerajaan Indragiri Sapat (Riau), pengarang kitab “Risalah amal Ma’rifat”, “Asranus Salah”, “Syair Qiyamat”, “Sejarah Arsyadiyah” dan lain lain.
12. H.M. Thaib bin Mas’ud bin H. Abu Saud, ulama Kedah, Malaysia, pengarang kitab “Miftahul jannah”.
13. H. Thohah Qadhi-Qudhat, penbina Madrasah “Sulamul ‘ulum’, Dalam Pagar Martapura.
14. H.M. Ali Junaedi, Qadhi.
15. Gunr H. Zainal Ilmi.
16. H. Ahmad Zainal Aqli, Imam Tentara.
17. H.M. Nawawi, Mufti.
18. Dan lain-lain banyak lagi.

Semuanya yang tersebut di atas adalah zurriyat-zurrivat Syeikh Arsyad yang menjadi ulama dan sudah berpulang ke rahmatullah.
Sebagai kami katakan di atas, Syeikh Mubammad Arsyad bin Al Banjari dan sesudah beliau, zurriyat-zariyat beliau adalah penegak-penegak Madzhab Syafi’i dan faham Ahlussunna,h wal Jama’ah, khususnya di Kalimantan.

Syaikh Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat islam di Nusantara.
Makamnya dianggap keramat dan hingga kini masih diziarahi orang. Haulnya pada Syawwal lalu dihadiri Menteri Agama RI H. Muhamamd Maftuch Basyuni bersama ribuan masyarakat, termasuk dari Malaysia, Sumatera, dan Jawa.
Mudah-mudahan Allah menurunkan rahmat kepada keluarga mereka dan kita semuanya, amin-amin.