Mengenai Saya

Foto saya
slumbung,ngadiluwih,kediri, jawa timur, Indonesia
AKU ANAK SULUNG DARI 5 SAUDARA

AHLAN WA SAHLAN

AHLAN WA SAHLAN
BI KHUDURIKUM....................!!!!!!!!!!
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA,DI BLOG SAYA YANG SEDERHANA INI....
BLOG INI SAYA PERSEMBAHKAN UNTUK KEDUA ORANG TUA SAYA.....
IBU DAN BAPAK SAYA TERCINTA...
MAAFKANLAH ANAKMU YANG SERING NYUSAHIN INI...
SERTA ORANG ORANG TERDEKAT SAYA......
SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT...!!!!!
AMIN.....!!!!


Sabtu, 05 Maret 2011

SHOLAT TÂRAWÎH



1.    Sejarah Târawîh
Saat bulan Ramadlan tiba, masjid, mushalla dan surau-surau selalu  semarak dengan berbagai kegiatan agama. Kultum, pengajian bandongan, tadarrus al-Qur`an, dan shalat târawîh adalah menu utama selama bulan Ramadlan.
Shalat târawîh adalah shalat yang dilakukan di setiap malam di bulan Ramadlan. Bermaksud untuk menghidupkan malam bulan ramadlan sebagai bulan yang paling utama di antara bulan-bulan yang lain. Rasulullah saw. bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ   
”Barang siapa mendirikan (menghidupkan) bulan ramadlan karena iman dan mengaharap pahala, maka akan diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Malik)
Tarawih secara bahasa memiliki arti istirahat berkali-kali. Sedangkan penamaan shalat ini dengan nama tarawih adalah dikarenakan disebabkan pelaksanaannya yang selalu diselingi dengan istirahat. Setiap empat rakaat sekali para jamaah shalat tarawih di makkah beristirahat dan melaksanakan thawaf.
Sejarah disunnahkannya shalat tarawih berawal dari kehadiran Rasulullah saw. di masjid pada malam tanggal 23 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Rasulullah saw. melaksanakan shalat yang kelak akan disebut dengan nama shalat tarâwîh.
Pada malam berikutnya, yaitu pada malam tanggal 25, rasulullah saw hadir lagi untuk melaksanakan shalat. Sahabat yang mengikuti Rasulullah saw. shalat semakin bertambah banyak. Pada malam ketiga, tepatnya pada malam tanggal 27 Rasulullah saw. juga hadir untuk melaksanakan shalat. Dan seperti malam-malam sebelumnya, para sahabat telah menunggu beliau untuk mengikuti shalat. Shalat yang dilakukan Rasulullah saw. di masjid saat itu adalah sebanyak 8 rakaat. Selanjutnya beliau menyempurnakannya di rumah beliau hingga genap 20 rakaat. Para sahabat pun juga menyempurnakan shalat tarawih dirumah mereka masing-masing hingga terdengar suara gemuruh orang shalat di seluruh penjuru bagai dengungan segerombol lebah.   
Terakhir, pada malam ke 29 para sahabat telah menunggu kehadiran Rasulullah saw. di masjid. Namun, setelah sekian lama di tunggu, ternyata beliau tidak hadir. Saat fajar menjelang, selepas shalat Shubuh, Rasulullah saw. bersabda :
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
”Aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk hadir ke masjid selain kekhawatiranku apabila shalat ini diwajibkan bagi kalian.” Demikian dijelaskan Sayyidah ‘Aisyah dalam riwayat Imam Bukhâri, Muslim, dan Abu Dâwud.[1]
Dari hadits inilah disimpulkan kesunnahan shalat tarawih pada setiap malam di bulan Ramadlan. Serta kesunnahan pelaksanaan shalat tarawih dengan berjamaah. Sedangkan mengenai kehadiran Rasulullah saw. yang tidak pada tiap malam adalah karena belas kasih Rasulullah saw. kepada umatnya.[2]
Nama tarawih
2.    Raka’at Tarawih            
Jumlah rakaat shalat tarawih adalah dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat yang telah disepakati semua ulama, baik ulama kuno (salaf) maupun khalaf Dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat ini banyak sekali baik dalil teks (naqli) ataupun dalil penalaran (aqli). Di antaranya adalah sebagai berikut :
a.        Hadits riwayat imam Bukhori dan imam Muslim sebagaimana dalam sejarah disunnahkannya shalat tarâwîh di atas. Dalam hadits tersebut dituliskan :
وَكَانَ يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَيـُكَمِّلُونَ بـَاقِيهَا فِي بـُيُوتـِهِمْ فَكَانَ يـُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيزٌ كَـأَزِيزِ النَّحْلِ
“Rasulullah saw. Shalat sebanyak 8 rakaat, kemudian mereka menyempurnakannya di rumah masing-masing. Sehingga terdengar suara gemuruh bagai dengungan lebah.” [3]
b.       Sayyidina Umar ra., pada masa kekhalifahannya mengumpulkan penduduk untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid secara berjamaah. Pada saat itu shalat tarâwîh dilaksanakan sebanyak 20 rakaat.  Ubay ibn Ka’ab adalah sahabat yang mendapat kehormatan ditunjuk oleh Sayyidina Umar untuk berlaku sebagai Imam.
Tindakan Sayyidina Umar ra. pada masa itu tidak mengundang kritik ataupun pengingkaran dari para sahabat lainnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) sahabat bahwa rakaat tarawih adalah dua puluh. Sebagaimana keterangan dalam hadits-hadits di bawah ini :
عَنِ السَّائِبِ بـْنِ يـَزِيدَ قَالَ كَانـُوا يـَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بـْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بـِعِشْرِينَ رَكْعَةً
”Sâ`ib ibn Yazid berkata : Para sahabat melakukan shalat tarâwih di masa Umar ibn al-Khathâb ra. di bulan Ramadlan sebanyak dua puluh rakaat.” (HR. Baihaqi)
Hadits serupa juga diungkapkan oleh Yazîd ibn Rûmân, sebagaimana di riwayatkan imam malik dalam kitab al-Muwaththa` :
"Orang-orang senantiasa menghidupkan malam (shalat tarawih) di masa Umar ra. sebanyak dua puluh rakaat."
Ibn Hammâm, tokoh madzhab Hanafy mengatakan, shalat tarawih dua puluh adalah sunnah (yang dikerjakan) oleh Khulafâ’ ar-Rasyidîn.[4]
Keterangan Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ yang dikutip dalam kitab Kasyfu at-Tabarikh halaman 14 menyebutkan:
”Dari Yazid ibn Khuzaifah : ”Orang-orang (muslimin) pada masa Umar ra, melakukan shalat Tarawih di bulan Ramadhan sebanyak 23 raka'at (3 rakaat shalat witir). Dalam Sunan at-Tirmidzi halaman 734 disebutkan bahwa mayoritas ahli ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar, 'Ali dan para Shahabat Nabi muhammad saw. Pendapat ini juga dikuatkan oleh ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarok, dan Imam Syafi'i. Imam Syafi'i berkata : Inilah yang aku jumpai di negara makkah, mereka semua melaksanakan sholat tarawih sebanyak 20 rokaat. Dengan demikian, jumlah rokaat sholat tarawih yang benar adalah 20 rokaat, karena bilangan ini sudah ijma' para sahabat dizaman Sayyidina Umar ra. Maka barang siapa mengingkari ketetapan jumlah rakaat shalat tarawih sebanyak 20 rokaat, berarti ia mengingkari Khulafâ' al -Rosyidin dan ingkar pada Khulafâ' al Rosyidin artinya ingkar pada Nabi  Muhammad saw.
c.        Persoalan jumlah rakaat adalah persoalan yang ta’abbudy (dogmatif) bukan bagian dari hal-hal yang dapat dinalar (ta’aqquly). Tentunya para shahabat melakukan tarawih sebanyak dua puluh rakaat berdasarkan petunjuk Rasulullah saw. Karena tidak mungkin para shahabat berani membuat ketentuan sendiri dalam masalah jumlah rakaat shalat yang jelas-jelas tidak dapat dinalar (bukan ruang ijtihad). Rasulullah pun pernah bersabda :
إِنَّمَا أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ فَبِأَيـِّهِمْ اقْتَدَيـْتُمْ اهْتَدَيـْتُمْ
“Sahabatku bagaikan bintang-bintang, maka kepada siapapun kalian menganut, kalian akan mendapatkan petunjuk.” (HR. Ibn ‘Abbas)

3.    Tanggapan-tanggapan
a.   Tanggapan terhadap hadits Sayyidah ‘Aisyah
Keterangan di atas seakan bertentangan dengan isi hadits Sayyidah ‘Aisyah yang diriwayatkan Imam Bukhori. Hadits yang menjadi dasar sebagian orang yang lebih meyakini bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 8 rakaat, bukan 20 rakaat. Hadits tersebut secara lengkap berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ أَبِي سَلَمَةَ بـْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلَ عَائـِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسِولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يـُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثـُمَّ يـُصَلِّي أَرْبـَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثـُمَّ يـُصَلِّي ثـَلاَثـًا قَالَتْ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَتـَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ قَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنِي تـَنَامَانِ وَلاَ يـَنَامُ قَلْبـِي
”Dari ‘Aisyah ra. Sesungguhnya Abi Salamah bin Abdirrahman bertanya kepadanya,”Bagaimana Rasulullah saw. shalat?” ‘Aisyah menjawab: ”Rasulullah saw. tidak pernah menambahi, baik di bulan Ramadhan maupun selain bulan ramadlan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu bertanya tentang baiknya dan lamanya shalat tersebut. Kemudian Rasulullah saw. shalat empat rakaat, dan jangan kamu bertanya tentang baiknya dan lamanya shalat tersebut. Kemudian Rasulullah saw. shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian bertanya,“Ya Rasulallah, Apakah Anda tidur sebelum shalat witir? Beliau menjawab: “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Bukhâri, Muslim, Abu Dâwud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Mâlik).
Hadits ini secara tekstual seakan memberi pemahaman bahwa Rasulullah saw tidak pernah shalat melebihi sebelas rakaat. Baik di bulan ramadlan ataupun di selain bulan ramadlan. Sehingga, menurut hadits ini tidak mungkin shalat tarawih berjumlah 20 rakaat.
Namun jika dipahami lebih teliti, hadits ini sebenarnya tidak bisa menjadi dasar bahwa shalat tarawih tidak berjumlah 20 rakaat. Sebab hadits tersebut menjelaskan shalat witir, bukan shalat tarawih. Kesimpulan ini berdasar pada beberapa hal di antaranya :
a.     Pertanyaan Sayyidah ‘Aisyah ra. kepada Rasulullah saw. di akhir hadits tersebut, “Ya Rasulallah, Apakah Engkau tidur sebelum shalat witir?
b.     Hadits tersebut menjelaskan shalat Rasulullah saw. di bulan Ramadlan dan selain bulan Ramadlan. Sementara shalat tarawih hanya ada di bulan Ramadlan.
c.     Imam Bukhori mencantumkan hadits tersebut dalam bab shalat tarawih.[5]
Keterangan tersebut di atas didukung dengan beberapa riwayat lain. Di antaranya:
1.      Hadits riwayat Imam Malik :
عن عروة عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أَنَّ رَسُولُ اللهِ  يـُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يـُوتـِرُ مِنْهَا بـِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ
”Sesungguhnya Rasulullah saw. shalat sebanyak sebelas rakaat, dengan satu rakaat terakhir Rasulullah saw. mengganjilkan shalatnya. Setelah selesai, beliau merebahkan tubuhnya pada lambung sebelah kanan.” (HR. Malik dan Abu Dawud)
Hadits ‘Aisyah di atas adalah berita mengenai shalat yang dilakukan Rasulullah saw. berdasar apa yang ‘Aisyah lihat. Tidak menutup kemungkinan Rasulullah saw. juga pernah melaksanakan shalat lebih dari sebelas rakaat saat sayyidah ‘Aisyah tidak melihat beliau. Dalam hadits riwayat imam ahmad, Sayyidina Ali berkata :
كاَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يـُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً سِوَى الْمَكْتُوبَةِ
”Rasulullah shalat malam enam belas rakaat selain shalat yang telah diwajibkan.” (HR. Ahmad)[6]
Hadits ini hampir sama dengan hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah yang mengabarkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah melaksanakan shalat dluha. Padahal sebagaimana telah maklum bagi kita bahwa shalat dluha hukumnya adalah sunnah, bahkan merupakan kewajiban bagi Rasulullah saw. Rasulullah saw. Dalam sebagian sabdanya Rasulullah saw. juga menganjurkan kepada sahabat Abu Hurairah ra. agar tidak pernah meninggalkan shalat dluha.
b.   Tanggapan terhadap hadits Jabir ra.
Selain hadits Sayyidah ‘Aisyah, ada juga hadits yang seakan bertentangan dengan pemahaman bahwa rakaat shalat tarawih adalah dua puluh rakaat. Hadits tersebut adalah hadits sahabat Jabir ra. yang secara jelas menyebutkan bahwa rakaat shalat tarawih hanya delapan rakaat. Jabir ra. Berkata :
عَنْ جَابِرٍ صَلَّى بـِنَارَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثـُمَّ أَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتْ اْلقَابـِلَةَ اجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَّخْرُجَ إِلَيْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا ... الحديث
”Rasulullah saw. Shalat bersama kami di bulan ramadlan sebanyak delapan rakaat, kemudian beliau melaksanakan shalat witr. Pada malam berikutnya kami telah berkumpul di masjid menanti kehadiran Rasulullah saw. Hingga fajar menyingsing ...” (HR. Ibn Hibban & Ibn Huzaimah)
Meski demikian, hadits tersebut tidak bisa menjadi dalil bahwa shalat tarawih hanya delapan rakaat. Sebab :
1.       Kemungkinan Jabir hanya datang pada malam kedua. Terbukti dalam hadits tersebut ia hanya menceritakan kisah dua malam. Padahal Rasulullah saw. Hadir di masjid sebanyak tiga atau empat kali. Demikian komentar az-Zarqâny menanggapi hadits sahabat Jabir di atas.
2.       Pernyataan sahabat Jabir bahwa Rasulullah saw. shalat tarawih sebanyak delapan rakaat bukanlah pembatasan. Ia hanya memberitakan sesuai apa yang ia lihat. Tidak menutup kemunginan para sahabat menambahkan rakaat shalat tarawih namun tidak diketahui oleh sahabat jabir.
Bahkan seandainya Jabir menafikannya, kemungkinan ia hanya mengisahkan sesuai yang ia ketahui sebagaimana sahabat Anas ra. Memberitakan bahwa Rasulullah saw. Tidak pernah mengangkat tangan saat berdoa kecuali pada shalat Istisqâ’. Padahal sahabat-sahabat yang lain meriwayatkan bahwa rasulullah saw. juga mengangkat tangan beliau saat berdoa meski bukan pada shalat Istitsqâ`.
3.       Telah dijelaskan bahwa para sahabat menyempurnakan shalat tarawih di rumah masing-masing sehingga terdengar gemuruh bacaan mereka laksana gerombolan lebah yang berdengung. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, tidak mungkin para shahabat berani menambah sendiri jumlah rakaat shalat kalau mereka tidak mendapat petunjuk dari Rasulullah saw. Sedang tindakan Rasulullah saw. yang hanya berjamaah delapan rakaat dan hanya hadir di masjid sebanyak tiga atau empat kali adalah bentuk kasih sayang beliau kepada umatnya.
4.       Kemungkinan lain, Nabi telah melaksanakan dua belas rakaat sebelum beliau berangkat ke Masjid. [7]

Dengan demikian, menurut kaca mata ushul fiqh hadits tersebut berstatus hadits mujmal disebabkan adanya banyak kemungkinan makna. Demikian ini menyebabkan hadits tersebut tidak bisa menjadi tendensi hukum. Sebuah kaidah fiqh menyebutkan :
وَقَائِعُ اْلأَحْوَالِ إِذَا تـَطَرَّقَ عَلَيْهِ اْلاحْتِمَالِ كَسَاهَا ثَوْبَ اْلإِجْمَالِ وَسَقَطَ بِهِ اْلاسْتِدْلاَلُ
”Kisah (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan, maka termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil.”
Oleh karenanya para ulama lebih cenderung memperhatikan apa yang dilakukan Sayyidina Umar ra. sekaligus menjadikannya sebagai dasar penetapan jumlah rakaat shalat tarawih. Keputusan ini berdasar pada beberapa hal, di antaranya :
ü  Sayidina Umar ra. adalah sahabat yang oleh Rasulullah saw. diberi gelar al-Faruq. al-Fârûq secara bahasa berarti yang memisahkan. Julukan al-faruq di sematkan pada Sayidina Umar ra. karena Allah swt. telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil melalui sayyidina Umar ra.
ü  Sayidina Umar adalah orang yang selalu mendapat ilham sehingga beliau tidak pernah berkata selain perkara yang baik dan benar karena kebeningan mata hati beliau. Rasulullah saw. bersabda:
إِنََّ اللهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبـِهِ
”Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. at-Tirmidzi)
Dikuatkan pula dengan hadits :
لَقَدْ كَانَ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ مُحَدَّثُـُونَ أي مُلْهِمُونَ فَإِن يـَكُنْ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
”Sungguh telah ada di dalam umat sebelum kalian orang-orang yang memiliki dugaan (penglihatan hati) dan firasat yang tepat. Maka jika ada seseorang di dalam umatku maka dia adalah Umar.” (HR Bukhâri)
Dalam sebuah hadits Abdullah bin Umar pernah mengatakan :
مَا نَزَلَ بـِالنَّاسِ أَمْرٌ قَطُّ فَقَالُوا فِيهِ وَقَالَ فِيهِ ابـْنُ الْخّطَّابِ إِلاَّ نـَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى نَحْوِ مَا قَالَ عُمَرُ
”Tidak terjadi suatu masalah pada manusia, lalu mereka membincangkan masalah tersebut dan shabat Umar bin al-Khathâb juga mengatakan (berpendapat) kecuali al-Quran turun menerangkan masalah tersebut sesuai apa yang dikatakan Umar.” (HR at-Tirmidzi)
Masalah Maqâm Ibrâhîm, Hijâb, dan tawanan perang Badar adalah sebagian buktinya. Inilah kehebatan dan karamah yang dianugerahkan allah swt kepada Sayyidina Umar ra.
ü  Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Khulafa` Rasyidin, khususnya Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw. bersabda :
إِنـَّهُ مَن يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتـِلاَفاً كَثِيرًا فَعَلَيْـكُم بـِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيـِّينَ بـَعْدِي فَعَضُّوا عَلَيْهَا بـِالنـَوَاجِذِ
“Dan sesungguhnya barang siapa hidup di antara kalian (setelah zamanku), maka ia akan melihat perselisihan pendapat yang sangat banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafâ` ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah dengan sangat erat.” (HR. Thabrani)
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah saw. juga bersabda :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
”Ikutlah kalian semua dengan dua orang setelah wafatku, Abu Bakar dan Umar.” (HR. Tirmidzi)
c.    Tanggapan terhadap pendapat Madzhab Maliki
Sebagian ulama madzhab maliki berpendapat bahwa jumlah rakaaat shalat tarawih adalah 36, bukan hanya 20 rakaat saja. Pendapat ini berdasarkan pada pelaksanaan shalat tarawih di Madinah pada masa khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Namun pendapat ini juga tidak bisa digunakan untuk menyalahkan pendapat bahwa rakaat shalat tarawih adalah dua puluh. Sebab, pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat di madinah adalah dengan maksud menyetarakan keutamaan dengan pelaksanaan shalat tarawih di makkah. Sebab, di makkah pelaksanaan tarawih selalu di selingi dengan thawaf setiap empat rakaat sekali.
Inilah sebabnya khalifah umar ibn abdul aziz berpandangan agar thawaf itu digantikan dengan shalat empat rakaat agar pahala pelaksanaan tarawih di makkah dan madinah bisa setara. [8]
 
4.    Bacaan Taradli disela-sela shalat tarawih
Taradli adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan ridlo dari allah swt. Secara umum mendoakan sesama adalah perbuatan terpuji. Baik mendoakan orang yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dunia. Apalagi jika orang yang kita doakan adalah orang-orang yang memiliki kedudukan disisi Allah swt. Seperti para nabi, sahabat, atau para ulama. 
Tidak lain tujuannya adalah agar mendapat aliran barakah yang tentunya tidaklah sebanding dengan apa yang telah diberikan. Barakah yang diterima jauh lebih besar dari doa yang telah kita panjatkan untuk mereka. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
”Barang siapa membaca shalawat untukku satu kali, maka Allah swt. memberikan rahmat kepadanya sebanyak sepuluh kali.” (HR. Muslim)
Membaca taradli kepada para sahabat juga diajarkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya :
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã
”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah.” (QS. at-Taubah ; 100)
Membaca taradli di sela-sela shalat tarawih sebenarnya tidak dikenal di masa awal Islam. Yang terjadi di Makkah, orang-orang melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah setiap empat rakaat. Namun membaca taradli di sela-sela shalat tarawih juga tidak merupakan larangan agama. ini berdasar pada beberapa pertimbangan berikut :
1.       Secara prinsip, membaca taradli adalah amal yang di anjurkan agama sebagaimana dalam firman Allah swt surat at-Taubah ayat 100 di atas.
2.       Di anjurkan memisah antara beberapa shalat sunnah. Yaitu dengan berpindah tempat atau dengan berbicara. Dalam sebuah hadits disebutkan :
َعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رضي الله عنه أَنَّ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ لَهُ إذَا صَلَّيْت الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَتَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا نَصِلَ صَلَاةً بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Muawiyah ra. berkata kepada Sâ`ib bin Yazîd ra.: ”Apabila kamu shalat Jum’at maka janganlah kamu menyambungnya dengan shalat yang lain sehingga engkau berbicara atau keluar, karena Rasulullah saw. memerintahkan kami melakukan hal tersebut, yakni agar jangan menyambung shalat dengan shalat yang lain sehingga berbicara atau keluar.” (HR Muslim)
Dari dua dalil ini disimpulkan bahwa membaca taradli di sela-sela shalat tarawih hukumnya adalah sunnah. Sebab, membaca taradli disunnahkan secara muthlak, tidak ada ketentuan kapan dan di mana taradli itu sunnah di baca. Begitu juga, tidak ada ketentuan bacaan apa yang digunakan dalam memisah antara dua shalat. Sehingga memisah dua shalat dengan bacaan taradli juga termasuk dalam hukum sunnah. Sayyid Muhammad 'Alawy al-Maliki mengatakan : "Sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang disyariatkan berarti juga disyariatkan."  
Dengan demikian membaca taradli di sela-sela shalat tarawih diperbolehkan dan bahkan merupakan perilaku sunnah, berdasar pada dua dalil di atas. Asalkan tidak meyakini bahwa membaca taradli adalah satu-satunya cara dalam memisah di antara rangkaian shalat Tarawih.





QUNUT

1. Pengertian Qunut
Secara bahasa, kata Qunut memiliki bermacam-macam makna. Dia antaranya adalah berarti doa, khusyu', ibadah, taat, penghambaan, ibadah, diam, mengerjakan shalat, mengerjakan shalat dengan lama, mengabadikan ketaatan.[9]
Sedangkan menurut istilah fikih qunut berarti suatu dzikir yang memuat doa dan pujian yang di baca pada posisi tertentu dalam shalat. [10]
2. Macam-Macam Qunut
      Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama menjelaskan bahwa qunut ada tiga macam :
1.       Qunut as-Shubh/al-Fajr, yaitu doa Qunut yang dibaca dalam shalat Shubuh,
2.       Qunut an-Nazilah, yaitu doa Qunut yang dibaca saat agama Islam atau orang Islam sedang mengalami cobaan atau musibah,
3.       Qunut al-Witr, yaitu doa Qunut yang dibaca dalam shalat Witr.
3. Hukum Membaca Qunut dalam Shalat Shubuh
Permasalahan Qunut dalam shalat Shubuh termasuk masalah khilafiyah (masalah yang diperselisihkan para ulama). Menurut madzhab Syafi'i dan madzhab Maliki, membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunah. Dalam Kitab al-Majmu' juz 3 hal. 504 Imam Nawawi menjelaskan :
مَذْهَبُنَا أَنـَّهُ يـُسْتـَحَبُّ الْقُنـُوتُ فِيهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نـَازِلَةٌ أَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبـِهَذَا قَالَ أَكْثَرَ السَّلَفُ وَمَنْ بـَعْدَهُمْ أَوْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ وَمِمَّنْ قَالَ بـِهِ أَبُو بـَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ ابـْنُ الْخَطَّابِ وَعُثـْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابـْنُ عَبَّاسٍ وَالْبـَرَّاءُ بْنُ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
”Menurut madzhab kita (madzhab Syafi'i) membaca doa qunut pada shalat Shubuh hukumnya sunnah. Baik ada bencana yang sedang melanda ataupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf dan ulama setelahnya atau setidaknya banyak ulama yang berpendapat demikian. Termasuk yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khathab, Utsman, Ali, ibn Abbas, dan Barra` bin 'Azib.
Penjelasan di atas cukup sebagai dasar disunnahkannya membaca doa Qunut. Pendapat demikian juga diungkapkan oleh sahabat ‘Ammâr bin Yâsir, Ubay bin Ka’b, Abu Mûsâ al-Asy’ary, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar as-Shiddîq, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Halîmah Mu’âdz bin Hârits al-Anshâry, Sa’id bin Musayyab, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.[11]
Banyak sekali hadits-hadits yang mendasari hukum sunnah membaca doa qunut pada shalat shubuh. Di antaranya adalah beberapa hadits di bawah ini :
عَنْ أَنَسِ بـْنِ مَالِكٍ قَالَ مَازَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يـَقْنُتُ  فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنــْيَا
”Rasulullah saw. senantiasa membaca qunut ketika shalat Shubuh hingga Beliau wafat.” (HR. Ahmad bin Hanbal)
عَنِ ابـْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يـُعَلِّمُناَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُعاَءً نـَدْعُو بـِهِ فِي الْقُنُوتِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ
“Rasulullah saw. selalu mengajari kami doa yang dibaca dalam qunut shalat Shubuh. (HR. al-Baihaqi)
عَنْ أَنَسِ بـْنِ مَالِكٍ أَنـَّهُ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ فَقَالَ نَعَمْ
Anas bin  Malik ditanya : ”Apakah Rasulullah saw. membaca doa qunut dalam shalat Shubuh? Beliau menjawab : ”Ya.” (HR Abu Dawud)
عَنْ الْعَوَّامِ بْنِ حَمْزَةَ قَالَ " سَأَلْتُ أَبَا عُثْمَانَ عَنْ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ قَالَ : بَعْدَ الرُّكُوعِ قُلْتُ : عَمَّنْ ؟ قَالَ : عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رضي الله تعالى عنهم " رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَقَالَ : هَذَا إسْنَادٌ حَسَنٌ
Al-‘Awwâm ibn Hamzah berkata : “Aku bertanya pada Abu Utsman tentang (waktu) qunut dalam shalat Shubuh. Beliau menjawab : ”setelah ruku’.” Aku bertanya lagi : “Dari siapa?” Beliau menjawab : ”Dari Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR al-Baihaqi)

4.Bacaan Doa Qunut
Bacaan doa Qunut tidak mempunyai ketentuan pasti. Setiap doa yang mengandung permohonan dan pujian kepada Allah swt. telah mencukupi dalam pembacaan doa Qunut. Namun, yang paling utama adalah doa yang diajarkan Rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan yang terdapat dalam hadits riwayat al-Khamsah, at-Thabrâny, al-Baihaqy, dan an-Nasâ`i dari Hasan  bin ‘Ali :
عن الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنه قَالَ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافَنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ إنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ "(رواه الخمسة) وزاد الطبراني والبيهقي "ولا يعز من عاديتَ" وزاد النسائي "وصلى الله تعالى على النبي "
Al-Hasan bin ‘Ali : ”Rasulullah saw. mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan pada qunut shalat witir ; Allahumma ihdiny……” (HR. Imam Khomsah)
Hadits tersebut memang menjelaskan bacaan dalam qunut shalat Witir. Namun bacaan doa qunut dalam Shubuh tidaklah berbeda dengan shalat witir, sebagaimana keterangan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَيَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي..... إلى آخره
Abu Huraira berkata : "Rasulullah saw. apabila mengangkat kepala dari ruku’ dalam shalat Shubuh pada rakaat yang kedua mengangkat kedua tangan Rasulullah saw. kemudian berdoa dengan doa ini : Allahumma ihdiny……" (HR al-Hâkim)
Hadits dengan makna serupa juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Ibn ‘Abbas ra.
Ada juga doa qunut yang diajarkan oleh Sayyidina Umar bin al-Khathab sebagaimana diriwayatkan Imam Baihaqi dari Abu Rafi’. Doa tersebut berbunyi :
اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ وَنُؤْمِنُ بِك وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وَإِلَيْك نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ اللَّهُمَّ عَذِّبْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِمْ الْإِيمَانَ وَالْحِكْمَةَ وَثَبِّتْهُمْ عَلَى مِلَّةِ رَسُولِكَ وَأَوْزِعْهُمْ أَنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذِي عَاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ يَا إلَهَ الْحَقِّ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ 

5.Tanggapan-tanggapan
Ditemukan  beberapa riwayat hadits yang secara jelas menyebutkan bahwa rasulullah saw tidak pernah membaca doa qunut, atau pernah membacanya kemudian meninggalkannya. Hadits-hadits tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
a.        Hadits riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari Said bin Thâriq :
عَنْ أَبِي مَالِكٍ سعد بن طارق الْأَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّك قَدْ صَلَّيْت خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ قَرِيبًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ ؟ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ ( رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَابْنُ مَاجَهْ ) وَفِي رِوَايَةٍ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ ؟
Abî Malik al-Asyja'i berkata : “Aku bertanya pada ayahku : ”Wahai ayah, sesungguhnya engkai telah shalat di belakang Rasululah saw., Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib di Kufah selama sekitar lima tahun. Apakah mereka membaca doa qunut ?” Ayah menjawab : ”Wahai anakku, (qunut) adalah hal baru.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibn Majah).
Dalam riwayat yang berbeda pertanyaan said ibn thariq kepada ayahnya berbunyi : ”Apakah mereka membaca doa qunut dalam shalat Shubuh?”
b.       Hadits riwayat Ibn  Huzaimah  dari  sahabat Anas ra. yang menyebutkan :
 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَقْنُتْ إلاَّ إذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
Sesungguhnya Nabi muhammad saw. tidak pernah membaca qunut kecuali apabila mendoakan (yang bermanfaat) bagi suatu kaum atau mendoakan (Yang merugikan) suatu kaum.” (HR ibn Khuzaimah)
c.        Hadits riwayat beberapa imam berikut ini :
وَعَنْ أَنَسٍ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَفِي لَفْظٍ { قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِي لَفْظٍ { قَنَتَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْته حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Anas, "sesungguhnya Nabi Muhammad saw. membaca doa qunut dalam sebulan kemudian meninggalkannya." (HR Ahmad) Dalam satu redaksi : ”Membaca qunut selama satu bulan mendoakan kepada beberapa kabilah dari kabilah-kabilah Arab kemudian meninggalkannya. (HR Ahmad, Muslim, an-Nasâ`I, dan ibn Mâjah). Dalam redaksi yang lain : “Membaca qunut selama satu bulan tatkala para ahli al-Qur`an terbunuh. Aku tidak pernah melihat beliau bersedih melebihi kesedihan beliau saat itu. (HR Bukhari)
 Hadits-hadits di atas memang bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi muhammad saw. selalu membaca doa qunut pada shalat Shubuh. Namun hadits-hadits ini tidak dapat dapat digunakan untuk menyangkal kesunnahan membaca doa qunut dalam shalat Shubuh. Sebab, sebuah kaidah ushul fiqh menyebutkan :
إِذَا تـَعَارَضَ الْمُثْبِتُ وَالنَّافِي قُدِّمَ المُثْبـِتُ ِلاشْتِمَالِهِ عَلَى زِيَادَةِ عِلْمٍ
”Jika bertentangan dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu peristiwa dan dalil yang menjelaskan peristiwa tersebut tidak ada, maka didahulukan yang pertama, karena memuat tambahnya pengetahuan.”
Sedangkan perkataan Anas ra. berupa “tsumma tarakahû” maksudnya adalah meninggalkan doa kepada orang-orang kafir (kabilah Arab) atau meninggalkan qunut dalam selain shalat Shubuh. Tafsir demikian ini harus diterapkan karena hadits riwayat Anas yang menjelaskan Rasulullah saw. Membaca doa qunut dalam shalat Shubuh sangat tegas dan termasuk hadits Shahih sebagaimana komentar Syeikh Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Balkhy, Imam al-Hâkim, Imam al-Baihaqy dan lain-lain. Hal ini dipertegas oleh salah satu riwayat Imam al-Baihaqy dari Abdirrahman bin Mahdy al-Imam yang berbunyi : ترك اللعن  juga oleh hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاتِهِ شَهْرًا يَدْعُو لِفُلَانٍ وَفُلَانٍ ثُمَّ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ
Abi Hurairah berkata : "Sesungguhnya Nabi saw. membaca qunut setelah ruku’ dalam shalatnya selama satu bulan untuk fulan dan fulan kemudian meninggalkan doa (qunut) untuk mereka." (H. Bukhori & Muslim)
Dalam hadits tersebut jelas bahwa yang ditinggalkan Rasulullah adalah mendoakan qunut khusus untuk sebagian orang, bukan berhenti dari doa qunut secara mutlak.[12]





[1]   Abi al-Fadhl ibn ‘Abdus Syakûr, Kasyf at-Tabârih, ( Surabaya : Maktabah Salim bin Nabhan ), tt., hal.3.
[2] Syaikh KH. Ma’shum Ali dalam kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah hal. 27
[3] Syaikh KH. Ma’shum Ali dalam kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah hal. 25
[4]   Ibid, hal. 14.
[5]. Syaikh KH. Ma’shum Ali dalam kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah hal.  34-36
[6]               ‘Ali as-Shâbûny, Dalil-Dalil Shalat Tarawih Dua Puluh Rakaat, terjemah dari Al-Hadyu an-Nabawy as-Shahîh fî Shalât at-Tarâwîh oleh Ali al-Ibadi Thoha dan Sholihuddin Shofwan, (Jombang : Darul Hikmah), hal.63-65
[7]   Ibid, hal.10-11, Sulaiman ibn Muhammad al-Bujairimy, Hâsyiyah al-Bujairimy ‘alâ al-Khathîb, ( Beirut : Dâr al-Fikr), vol. ke-1, hal.422., KH. Ali Makshum, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Abdul mid as-Syarwany, syiyah as-Syarwani Ala Tuhfah al-Muhtâj, vol. II, hal. 286
[8]. Syaikh KH. Ma’shum Ali dalam kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah hal.  31-32

[9]   Syihab ad-Dîn Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar al-'Asqalâny, Op.Cit., vol.II, hal.394., Muhammad az-Zarqany, Syarh az-Zarqany 'Ala al-Muwatha`, (Beirut : al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra ), 1936, vol.I, hal.322.
[10]   Muhammad Nawawi bin Umar at-Tanâry al-Bantany, Qût al-Habîb al-Gharîb (Tausyih 'ala ibn Qasim), (Beirut : Dar al-Fikr), cet.ke-1, 1996, hal.62 & KHM. Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Qunut, Santri, cet. ke-2, Januari 1997, hal.9
[11] Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Tirmidzy, (Beirut:Dâr al-Fikr), cet.ke-2, 1979, vol.II, hal.432.
[12] Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ ‘ala Syarh al-Muhadzab, Maktabah al-Muniriyah, vol.III, hal.475-476.

Tidak ada komentar: